Hot Posts

6/recent/ticker-posts

Ragi Super Mengubah Limbah Menjadi Etanol

Penulis adalah Mahasiswa Biologi Universitas Pendidikan Indonesia

Nama penulis : Khaila Khalidazia (khailazialida@upi.edu), Ayu Awalia (ayuawaliaa8@upi.edu), Syifa Nurfadhilah, Putri Alia (putri.alia@upi.edu), Syifa Ismarnianty (syifaismarnianty@upi.edu), Topik Hidayat (topikhidayat@upi.edu)

Di tengah isu krisis energi dan perubahan iklim yang semakin terasa, pembicaraan tentang energi bersih kini bukan lagi sekadar wacana. Dunia menghadapi tantangan besar untuk memenuhi kebutuhan energi tanpa semakin memperburuk kerusakan lingkungan. Di tengah situasi tersebut, muncul gagasan menarik sekaligus menjanjikan bahwa limbah organik yang selama ini identik dengan bau, tumpukan kotor, dan masalah lingkungan ternyata bisa berubah menjadi sumber energi bersih. Setiap tahun, produksi pangan global menghasilkan miliaran ton limbah pertanian yang sebagian besar belum dimanfaatkan secara optimal. Limbah seperti sekam padi, jerami, tandan kosong kelapa sawit, kulit buah, hingga sisa sayuran sering kali hanya berakhir di tempat pembuangan atau langsung dibakar. Praktik ini bukan hanya menimbulkan pencemaran lingkungan, tetapi juga menyumbang emisi karbon dioksida dalam jumlah besar. Padahal, biomassa tersebut menyimpan kandungan gula dan karbohidrat yang sangat potensial untuk diolah menjadi sumber energi terbarukan, salah satunya bioetanol.

(Briket dari limbah bonggol jagung, sumber : Kompasiana)

Seiring meningkatnya kebutuhan energi ramah lingkungan, banyak negara mulai melirik limbah organik sebagai bahan baku bioetanol. Dan yang membuatnya lebih menarik, proses ini tidak selalu membutuhkan mesin besar atau teknologi super rumit. Justru pemeran utama dalam proses ini dijalankan oleh mikroorganisme kecil yang sudah sangat akrab dalam kehidupan seharihari, yakni ragi. Namun, ragi biasa tidak cukup. Gula yang terkandung dalam limbah organik umumnya berbentuk kompleks dan sulit diuraikan. Ragi konvensional hanya mampu memfermentasi gula sederhana seperti glukosa, sehingga banyak potensi energi dari limbah organik terbuang begitu saja. Dari sinilah ragi termodifikasi menjadi game changer dalam produksi bioetanol.

Para peneliti kemudian mengembangkan Saccharomyces cerevisiae termodifikasi, yang kerap disebut sebagai “ragi super”. Melalui teknologi rekayasa genetika, ragi ini dibekali ezim tambahan yang mampu memecah gula kompleks seperti xilosa dan arabinosa—dua jenis gula yang sangat melimpah dalam limbah pertanian. Dengan kemampuan ini, semakin banyak jenis gula yang bisa difermentasi, sehingga produksi etanol menjadi jauh lebih maksimal. Dalam proses rekayasa ini, bakteri Escherichia coli sebenarnya ikut terlibat, tetapi bukan sebagai agen fermentasi. E. coli hanya bertugas sebagai “kurir” untuk membawa dan memperbanyak gen target sebelum gen tersebut disisipkan ke dalam ragi. Setelah proses modifikasi selesai, E. coli tidak ikut dalam proses pembuatan bioetanol, yang bekerja hanyalah ragi super dengan kemampuan barunya memfermentasi gula dari limbah organik, sehingga menghasilkan etanol dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan ragi konvensional. Sebelum ragi memulai aksinya, limbah organik perlu melalui tahapan awal yang disebut pretreatment. Tahap ini bertujuan untuk melunakkan struktur keras lignoselulosa agar kandungan gula di dalamnya lebih mudah diakses. Pretreatment dapat dilakukan melalui penggilingan, pemanasan uap, atau penggunaan bahan kimia tertentu. Setelah pretreatment, barulah fermentasi dimulai. Di sinilah ragi termodifikasi menunjukkan keunggulannya. Dengan kemampuan memfermentasi berbagai jenis gula, proses pembuatan bioetanol menjadi lebih cepat dan efisien. Hasil etanol yang diperoleh pun meningkat drastis jika dibandingkan dengan fermentasi menggunakan ragi biasa.

Hasilnya, ragi termodifikasi menunjukkan performa yang jauh lebih unggul. Proses fermentasi menjadi lebih cepat, lebih efisien, dan mampu menghasilkan bioetanol dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan metode konvensional. Bioetanol yang dihasilkan pun memiliki beragam manfaat, mulai dari campuran bahan bakar kendaraan, sumber energi listrik, bahan bakar memasak, hingga penghangat ruangan. Tak heran jika berbagai negara telah lama memanfaatkan campuran etanol dalam bahan bakar mereka. Indonesia pun perlahan mulai bergerak menuju pemanfaatan energi terbarukan ini sebagai bagian dari upaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Meski demikian, produksi bioetanol dari limbah organik masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti biaya produksi yang relatif tinggi dan infrastruktur yang belum merata. Namun, berbagai solusi terus dikembangkan, mulai dari inovasi teknologi, kebijakan energi hijau, hingga edukasi publik mengenai pemanfaatan limbah sebagai sumber energi bernilai.

Salah satu contoh negara yang telah memanfaatkan Bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan adalah Brazil, dengan teknologi canggihnya Brazil menciptakan kendaraan yang dapat diisi oleh bahan bakar E100 (kadar etanol 100%). Hal ini merupakan sebuah penemuan brilian karena dapat menggantikan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi dan fosil (sumber daya alam yang tak dapat diperbarui) menjadi bahan bakar yang berasal dari limbah pertanian pangan (sumber daya alam yang dapat diperbarui). Di Indonesia sendiri, yang umum dipasarkan adalah etanol sebagai campuran bahan bakar yang berasal dari minyak bumi diantaranya terdapat E3,5 (kadar etanol 3,5%) dan E5 (kadar etanol 5%).

Sifat kimia dari bioetanol ini sangat mudah menyerap air dari udara sehingga diperlukan rancangan mesin kendaraan yang khusus supaya tangki bensin tidak cepat berkarat. Selain memerhatikan faktor kendaraan, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) juga perlu dirancang pada penyimpanannya kedap udara supaya bioetanol tetap murni dan tidak mudah menarik air dari udara.

Pada akhirnya, bioetanol dari limbah organik bukan sekadar inovasi energi. Ia adalah simbol perubahan cara pandang. Bahwa bangsa ini, dan dunia, bisa bergerak menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan tanpa harus meninggalkan kenyamanan hidup modern. Ketika limbah dapur dan sisa pertanian saja mampu disulap menjadi bahan bakar ramah lingkungan, peluang untuk menciptakan bumi yang lebih bersih dan berkelanjutan pun semakin terbuka. Ini bukan sekadar soal energi. Ini tentang cara baru melihat sampah bahwa sesuatu yang selama ini dianggap tidak berguna, justru dapat menjadi harapan baru bagi masa depan.