MATARAM – Di tengah gegap gempita perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ke-67, sebuah pemandangan kontras terjadi di jantung Kota Mataram. Aliansi Honorer 518 menggelar aksi mimbar bebas di perempatan Kantor Gubernur NTB sejak Rabu (17/12) sore hingga larut malam, menuntut kejelasan nasib mereka yang terancam dirumahkan per akhir tahun ini.
Massa yang dipimpin oleh Irfan dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pertanian dan Perkebunan Bima ini membawa spanduk bernada pilu: "Aksi Damai Menolak PHK", "No One Left Behind", dan "Kami Bukan Siluman".
Dalam orasinya, para pengunjuk rasa mengungkapkan kekecewaan mendalam atas ketidakpastian status mereka. "Kami bukan honorer siluman. Ada yang sudah bekerja belasan hingga puluhan tahun. Saat ini 518 orang menangis di tengah kebahagiaan Pemprov NTB," teriak salah satu orator di tengah aksi.
Mereka mendesak Gubernur untuk tidak melihat permasalahan hanya dari sisi regulasi, melainkan juga dari sisi kemanusiaan, mengingat ratusan honorer tersebut memiliki keluarga yang bergantung pada pekerjaan tersebut.
Sebagai bentuk protes sekaligus peringatan hari jadi daerah, massa aksi secara simbolis membawa tumpeng dan kue tart ke hadapan Kantor Gubernur sebelum akhirnya diterima untuk berdialog di Ruang Anggrek.
Gubernur Iqbal: "Keputusan Pahit yang Harus Kami Sampaikan"
Setelah sempat ditemui oleh Pj. Sekda NTB Lalu Moh. Faozal dan Kepala BKD NTB Tri Budiprayitno pada sore hari, Gubernur NTB Dr. H. Lalu Muhammad Iqbal akhirnya menemui langsung massa aksi sekitar pukul 22.00 WITA.
Dalam pertemuan yang penuh haru tersebut, Gubernur Iqbal menjelaskan bahwa dirinya terjepit oleh kebijakan pusat dan kondisi database yang sudah tertutup sebelum ia menjabat. "Perintah pusat jelas, per 31 Desember tidak ada lagi tenaga honorer kecuali melalui pihak ketiga. Kami sudah berupaya ke BKN hingga menjajaki peluang di BUMD dan Bank NTB, namun semua jalan buntu," ungkapnya.
Atas nama pemerintah daerah, Gubernur secara terbuka menyampaikan permohonan maaf dan menjanjikan dua hal sebagai bentuk penghormatan terakhir atas dedikasi mereka:
1. Pemberian Tali Asih: Upaya pemberian uang pisah sesuai masa pengabdian yang saat ini masih menunggu persetujuan Kemendagri.
2. Prioritas Data: Nama-nama ke-518 honorer tersebut akan tetap dicatat sebagai rujukan prioritas jika di masa depan terdapat kebijakan atau ruang baru dari pemerintah.
Menanggapi penjelasan tersebut, Irfan selaku koordinator aksi menyatakan pihaknya memahami posisi sulit yang dihadapi pemerintah. Meski harus menerima kenyataan pahit bahwa kontrak mereka berakhir per 31 Desember 2025, ia berharap pemerintah tetap menganggap mereka sebagai bagian dari keluarga besar Pemprov NTB.
"Kami adalah jari-jemari pelayanan publik yang telah lama mengabdi. Kami berharap jika suatu saat ada kebijakan yang memungkinkan, kami bisa kembali dipanggil untuk berbakti," tutup Irfan.
